Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menilik Urgensi BBM Rendah Sulfur, Ini Catatan Buat Pemerintah

Wacana uji coba produk Bahan Bakar Minyak (BBM) baru yang rendah sulfur di 17 Agustus 2024, menyisakan tanda tanya terkait spesifikasi dan jenis campuran yang membuat produk tersebut lebih ramah lingkungan.

PT Pertamina (Persero) mengakui sedang menggodok produk BBM baru rendah sulfur, sebagaimana penugasan dari pemerintah, namun belum bisa membeberkan spesifikasinya lebih lanjut.

Dengan begitu, masih terbuka kemungkinan apakah BBM tersebut merupakan campuran dari Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan kadar yang berbeda, baik itu minyak sawit (CPO) atau biodiesel yang saat ini sudah dicampur dengan solar subsidi, maupun etanol seperti produk bensin Pertamax Green 95.

Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak, menuturkan masing-masing kedua BBN sangat baik, namun kualitasnya tergantung proses produksi dan ketahanan pasokannya karena diperlukan sebagai bahan pangan.

"Justru pertimbangan utamanya dari aspek keekonomian dan kepastian supply. Baik bioetanol maupun biodiesel sama-sama terjadi dilema antara konversi ke pangan atau energi," jelasnya kepada kumparan, Minggu (14/7).

Ali menilai, dari sisi kepastian pasokan, CPO atau biodiesel memang lebih jelas suplainya karena banyaknya perkebunan sawit skala besar.

"Tinggal masalah harganya (mahal atau tidak)," imbuhnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran (Unpad), Yayan Satyakti, menilai kebutuhan BBM rendah sulfur tidak terlalu mendesak saat ini, apalagi jika harganya mahal.

"Saya kira kurang bijak jika saat ini pemerintah menerapkan harga BBM yang relatif mahal di tengah situasi ekonomi dengan kontraksi daya beli yang signifikan," tegasnya.

Selain memerlukan campuran BBN, sejatinya produk BBM sulfur rendah juga diproduksi tergantung dari jenis minyak mentah (crude). Semakin rendah sulfurnya, harganya akan lebih mahal.

Yayan memaparkan, minyak mentah rendah sulfur memiliki berat jenis yang lebih ringan, disebut dengan kategori minyak Light Sweet Crude Petroleum, lebih mahal dari minyak mentah bersulfur tinggi atau heavy crude.

"BBM rendah sulphur ini biasanya berdasarkan pada feedstock minyak mentah yang memang rendah sulphur harganya lebih mahal, karena berat jenis minyak ini lebih ringan," jelasnya.

Selain itu, untuk memproduksi BBM rendah sulfur di minimal Euro IV atau di bawah 50 ppm, ternyata butuh biaya yang lebih mahal karena harus ada investasi lebih untuk kilang di Indonesia yang saat ini umumnya memproses BBM setara Euro II atau dengan sulfur tinggi kisaran 150-300 ppm.

"Low sulphur ini harus memodifikasi kilang minyak lho. Investasinya rada kumaha. Kalau impor ya lebih mahal. Mudah-mudahan bisa memproses minyak kita sendiri," pungkas Yayan.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan akan ada produk BBM baru yang rendah sulfur dan emisi. Rencananya produk itu akan diujicobakan mulai 17 Agustus 2024.

"Kita kan sekarang udara kita banyak emisi jadi bagaimana kita bisa kurangi, supaya hidup sehat jadi alternatifnya pake BBM rendah sulfur," ungkap Arifin saat di kantor Kementerian ESDM, Jumat (12/7).

Pemerintah, kata Arifin, akan menentukan bahan bakar nabati (BBN) sebagai bahan pencampur BBM untuk mengurangi kandungan sulfurnya menjadi di bawah 50 ppm.

"Kita cari bahan pencampur yang bisa mengurangi sulfur konten kita sekarang masih 500 ppm, kalau standarnya Euro V di bawah 50, tapi menuju itu ongkosnya ada, tapi kita belum kelar sih (kajian)," jelas Arifin.

Posting Komentar untuk "Menilik Urgensi BBM Rendah Sulfur, Ini Catatan Buat Pemerintah"